TOLERANSI
DAN KETERKAITAN SIKAP, PERILAKU TOLERANSI DENGAN NILAI MORAL LAINNYA
A.
Pengertian
Toleransi
Toleransi berasal
dari bahasa Latin yaitu tolerare, artinya menahan diri,bersikap
sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat
berbeda. Sikap toleran tidak
berarti membenarkan pandangan yang
dibiarkan itu, tetapi mengakui kebebasan serta hak-hak asasi para penganutnya.
Toleransi
dalam bahasa agama adalah tasamuh. Istilah toleransi ini janganlah
didramatisir, dibuat suatu konsep sedemikian pula lalu mecampur aduknya. Jadi
sudah ada petunjuk jelas di dalam agama, mana yang boleh dan mana yang tidak
boleh. Dalam Islam ada ajaran aqidah (iman), syariah (Islam), dan akhlak
(ihsan).
Toole adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti
sikap dan perbuatan yang melarang adanya deskriminasi/pembedaan kelompok-kelompok yang
berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana
penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama
lainnya.
B.
Macam Toleransi
Ada tiga macam sikap toleransi, yaitu:
- Negatif
Isi ajaran dan
penganutnya tidak dihargai. Isi ajaran dan penganutnya hanya dibiarkan saja
karena dalam keadaan terpaksa.
Contoh PKI atau orang-orang yang beraliran komunis di Indonesiapada zaman Indonesia baru merdeka.
- Positif
Isi ajaran ditolak, tetapi
penganutnya diterima serta dihargai. Contoh
Anda beragama Islam wajib hukumnya menolak ajaran agama lain didasari oleh
keyakinan pada ajaran agama anda tetapi penganut atau manusianya anda hargai.
- Ekumenis:
Isi ajaran
serta penganutnya dihargai, karena dalam ajaran mereka itu terdapat unsure kebenaran
yang berguna untuk memperdalam pendiriandan kepercayaan sendiri. Contoh Anda dengan teman Anda sama-sama beragama
Islam atau Kristen tetapi berbeda aliran
atau paham.
C.
Batasan Toleransi Umat Beragama
·
QS.
Al-Kafirun : 1-6
1. Katakanlah: “Hai orang-orang
kafir, 2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3. Dan kamu bukan
penyembah Tuhan yang aku sembah. 4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa
yang kamu sembah, 5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang
aku sembah. 6. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
Tafsir Al-Qur’an Kontemporer I karangan Aam Amiruddin:
Ayat 1.
Yang dimaksud dengan “kafir” pada ayat 1, berasal dari kata “kufur”,
artinya menutupi kebenaran, melanggar kebenaran yang telah diketahui, dan tidak
berterima kasih. Kata “kafir” dan kata jadinya disebutkan 525 kali dalam
Al-Qur’an. Semuanya mengacu pada perbuatan mengingkari Allah swt., seperti
mengingkari nikmat-nikmat Allah, membangkang hokum-hukum Allah, meninggalkan
perintah Allah yang telah diperintahkan.
Istilah “kafir”
dalam pengertian terakhir ini, pertama kali digunakan dalam Al-Qur’an untuk
menyebut para kafir Makkah (hlm. 83). Jadi, orang kafir yaitu mereka yang
menolak, menentang, mendustakan, mengingkari, dan bahkan anti kebenaran.
Seorang disebut kafir apabila melihat sinar kebenaran maka ia memejamkan
matanya. Apabila mendengar ajakan kebenaran, ia menutup telinganya. Ia tidak
mau mempertimbangkan dalil apapun yang disampaikan padanya dan tidak bersedia
tunduk pada sebuah argument meski telah mengusik nuraninya.
Konsekuensi
kafir ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain dinyatakan:
- Orang kafir akan mendapatkan azab yang keras di dunia dan akhirat
- Orang kafir akan memperoleh kehinaan di dunia dan akhirat
- Amal orang kafir akan gugur dan sia-sia
Ayat 2.
Ayat ini dimulai dengan kata “laa” yang bermakna “tidak”. Kata ini
digunakan untuk menafikan atau menolak sesuatu akan terjadi. Sedangkan kata “a’budu”
yang biasa diartikan “menyembah, taat, dn tunduk” secara gramatikal menggunakan
bentuk mudhari’. Jadi, penggunaan kata laa a’budu merupakan
penegasan bahwa sekarang dan pada masa yang akan dating kita tidak akan
menyembah, tunduk dan patuh pada apapun selain Allah.
Ini
penegasan bahwa Islam mengharamkan umatnya untuk mencampuradukkan keimanan dan
ritual Islam dengan agama manapun, apapun dalihnya.
Kita
sering terperangkap dengan jebakan “toleransi antar umat beragama”, yang
diartikan dengan mencampuradukkan ritual keagamaan. Bila kaum Nasrani natalan,
kitapun dianjurkan mengikutinya. Padahal sikap ini merupakan pengkhianatan
terhadap keimanan dan ritual kita.
Makna
toleransi yang sebenarnya bukanlah mencampuadukkan keimanan dan ritual Islam
dengan agama non Islam, tapi menghargai eksistensi agama orang lain. Kita tidak
dilarang melakukan kerjasama dengan non muslim dalam hal-hal yang berkaitan
dnegan hal-hal dunia, misalnya hubungan bisnis ataupun studi. Bahkan ada ayat
yang memerintahkan agar kita berlaku adil kepada siapa pun, termasuk kepada non
muslim. Yakni dalam QS. Al-Maidah : 8
“Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Jadi, saat
berinteraksi dengan non muslim, prinsip-prinsip toleransi, keadilan, dan
kebenaran harus kita tegakkan. Namun untuk urusan yang berkaitan dengan
kayakinan dan peribadatan, kita mengambil garis yang jelas dan tegas.
Ayat 3.
Ayat ini menjelaskan tentang sikap toleransi yang paling murni. Kita tidak
menginginkan umat Nasrani, Hindu dan Budha mengikuti dan melaksanakan ajaran
Islam seperti shalat Idul Fitri atau shalat Jum’at. Kita pun diharamkan
mnegikuti ritual dan keyakinan mereka, seperti Natalan, Ngaben, atau
pembaptisan.
Ayat 4 dan 5. Ayat ini mengandung makna bahwa aku tidak akan pernah
beribadah seperti ibadahmu dan kamu pun tidak perlu beribadah seperti ibadahku.
Ini
merupakan implementasi atau perwujudan toleransi yang sesungguhnya. Kita
menghormati keyakinan dan ritual orang lain. Kalau kita memaksa orang-orang non
Islam mengikuti ritual kita, berarti menyuruh mereka mengkhianati keimanannya.
Karena itu, kita pun tidak akan pernah ikut beribadah dengan mereka, sebab ini
merupakan pengkhianatan terhadap iman kita.
Kalau
mereka meminta kita agar mengikuti ibadahnya dengan dalih toleransi antar umat
beragama, ketahuilah ini merupakan racun keimanan yang harus kita tolak dengan
tegas.
Ayat 6.
Para pakar tafsir menyebutkan, kata lakum pada ayat ini mengandung makna
“khusus untuk kamu”, sehingga ayat terakhir ini seakan-akan berpesan kepada
mereka bahwa agama yang kalian anut itu khusus untuk kalian, dan agama yang aku
anut khusus untukku. Karena itu, tidak perlu kita campuradukkan, kamu tidak
perlu mengajak kami (umat Islam) untuk beribadah dengan caramu, dan kami pun
tidak akan mengajakmu beribadah dengan cara kami.
·
QS. Al-Baqarah : 256
“Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan
beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui”.
[162] Thaghut ialah syaitan dan
apa saja yang disembah selain dari Allah SWT
Tafsir
Al-Maraghi karangan Ahmad Musthafa Al-Maraghi:
Kata “ar-Rusydu”
mengandung arti petunjuk dan semua kebaikan lawan dari kata “Al-Ghyayyu”
yang mengandung arti sama dengan “Al-Jahlu”. Hanya, kata “Al-Ghayyu”
menunjukkan arti yang bertaut dengan keyakinan (I’tikad), sedangkan kata “Ar-Rusydu”
berkaitan dengan masalah kelakuan (perbuatan). Karenanya dikatakan, hilangnya
kebodohan itu dengan ilmu, dan hilangnya “Al-Ghayyu” dengan “Ar-Rusydu”.
Kata “Adz-Zdulumat”
berarti kesesatan-kesesatan yang melanda manusia dalam fase-fase kehidupannya,
seperti bid’ah, hawa nafsu, yang keduanya dapat menghalangi manusia dalam
menjalankan perintah-perintah agamanya. Kedua hal tersebut bila menguasai diri
manusia, dapat menghalangi mereka dari pengertian agama yang sebenarnya.
Ayat ini turun
pada saat Islam mulai kuat, yakni pada periode Madinah. Sebab turunnya ayat ini
adalah seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Ikrimah dari Ibn
Abbas. Ada seorang lelaki dari kalangan Anshar yang dikenal dengan panggilan
Hushain. Ia mempunyai 2 orang anak laki-laki, keduanya beragama nasrani,
sedangkan ia sendiri beragama Islam. Hushain menanyakan kepada Nabi saw.,
“Apakah saya harus memaksa keduanya untuk masuk agama Isalam? Karena nyatanya
keduanya tidak mau masuk agama selain Nasrani.,” kemudian turunlah ayat ini.
Dan dalam
riwayat lain dikatakan bahwa Hushain memaksa anaknya untuk masuk Islam, hingga
perkara ini mereka adukan kepada Rasulullah. Hushain mengemukakan
argumentasinya “ wahai Rasulallah, apakah saya hanya diam saja menyaksikan
sebagian dari kami masuk neraka?” Kemudian, turun ayat ini, hingga akhirnya
Hushain melepaskan kedua anak lelakinya.
Tidak ada
paksaan dalam memasuki agama, karena iman harus dibarengi dengan perasaan taat
dan tunduk. Hal ini tentunya tidak bisa terwujud dengan cara paksaan.
Ayat ini
kiranya cukup sebagai hujjah di hadapan orang-orang yang sengaja
memusuhi Islam, bahkan orang-orang Islam sendiri yang beranggapan bahwa Islam
tidak bisa tegak melainkan dengan pedang dan kekerasan. Karena pada ayat ini
telah dijelaskan bahwa Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk memaksakan
kehendak, dan Islam memeintahkan umatnya untuk saling bertoleransi antar sesama
agama dan umat beragama lainnya.
·
QS. Al-Mumtahanah : 8-9
“Allah tidak melarang kamu
untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang Berlaku adil.”
“Sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena
agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah
orang-orang yang zalim.”
·
QS. Yunus : 99
“Dan Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka
Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya ?”
·
QS. Asy-Syura’ : 15
“Maka karena itu serulah
(mereka kepada agama ini) dan tetaplah[1343] sebagai mana diperintahkan
kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan Katakanlah: “Aku beriman
kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya Berlaku
adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan Kami dan Tuhan kamu. bagi Kami amal-amal
Kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara Kami dan kamu,
Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)”.
[1343] Maksudnya: tetaplah dalam
agama dan lanjutkanlah berdakwah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar